Ketiadaan sumberdaya, terutama dana, telah membuat pendidikan tinggi
Indonesia tidak bisa menjalankan fungsinya secara maksimal dalam
melakukan riset-riset untuk memajukan ekonomi bangsa dan mengejar
ketinggalan dari negara tetangga.
Dalam sebuah publikasi perbandingan Sistem Pendidikan Tinggi Nasional
(SPTN) 48 negara baru-baru ini (2012), Indonesia menduduki peringkat
ke-47, hanya
sedikit lebih baik daripada India (48), namun pada tingkat
ASEAN, Indonesia kalah dari Thailand (41), Malaysia (36) dan tentu saja,
Singapura (11). Peringkat ini bukanlah peringkat hasil penilaian atas
kualitas universitas seperti ranking Times Higher Education (THE), Shanghai Jiao Tong University Ranking dan yang sejenisnya, tapi penilaian atas kualitas Sistem Pendidikan Tinggi Nasional di sebuah negara.
Peringkat SPTN tersebut dibuat oleh para periset Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research dari The University of Melbourne
(Australia) atas sponsor dari jaringan kerjasama antar universitas
bernama “UNIVERSITAS 21″, di mana UniMelb adalah salah satu anggotanya.
Negara yang dievaluasi memang hanya 48 dan Indonesia diikutkan dalam
penilaian karena statusnya sebagai anggota negara G20. Awalnya, pihak
UniMelb hanya mengevaluasi 50 negara terbaik dalam hal hasil riset,
berdasarkan peringkat yang dikeluarkan oleh National Science Foundation
Amerika Serikat pada tahun 2006-2007. Mereka kemudian memasukkan
Hongkong, Indonesia dan Arab Saudi, namun Arab Saudi bersama Mesir,
Pakistan, Serbia dan Tunisia akhirnya dikeluarkan dari penilaian karena
ketiadaan data.
Data yang diolah berasal dari data-data tahun 2005 hingga 2009. Ada empat kriteria yang dievaluasi, yaitu: sumberdaya (resources), lingkungan (environment), konektivitas (connectivity), dan keluaran (output) pendidikan tinggi. Berikut ini hasil evaluasi mereka:
1. Sumberdana berkaitan langsung dengan kualitas pengajaran dan riset
karena memiliki lebih banyak dana berarti bisa mendapatkan pengajar dan
periset dengan kualitas yang lebih baik, mampu melakukan riset-riset
yang lebih berkualitas dan jumlah riset lebih banyak. Dana untuk
Pendidikan Tinggi Nasional biasanya disediakan oleh pemerintah dan bisa
pula berasal dari sumbangan pribadi dan pihak swasta. Kanada menempati
peringkat teratas dalam urusan ketersediaan dana (100 poin), selanjutnya
disusul oleh Swedia dan Denmark di posisi ke-2 & ke-3, lalu
berturut-turut dari peringkat 4 hingga 10 meliputi: Amerika Serikat,
Norwegia, Finlandia, Swiss, Singapura, Belanda dan Ukraina. Indonesia
berada di posisi terakhir (15,8 poin), sedangkan Thailand di posisi
ke-38 dan Malaysia berada di posisi ke-24. Bahkan dibandingkan dengan
India yang populasi dan jumlah universitasnya lebih banyak pun,
Indonesia masih kalah 7.1 poin (India peringkat ke-47 dengan 22.9 poin).
2. Lingkungan mencakup partisipasi wanita dalam kegiatan
belajar-mengajar dan riset, keberadaan badan yang memonitor kegiatan
pendidikan tinggi dan kualitas di sekitar regulasi dan policy.
Indonesia lebih baik daripada beberapa negara Eropa seperti Hungaria,
Italia, Kroasia dan Yunani; Iran, Turki dan India, namun tertinggal dari
tetangga dekat seperti Thailand (31) dan Malaysia (24).
3. Konektivitas meliputi jumlah mahasiswa asing di perguruan tinggi dan
kolaborasi dengan periset asing, dalam arti publikasi makalah
bersama-sama. Indonesia menempati urutan ke-16, karena ada banyak
periset Indonesia yang berkolaborasi dengan periset asing yang
dibuktikan dengan menjadi “co-author“ dalam publikasi
internasional (catatan: tidak jelas apakah sebagai penulis pertama atau
kedua, ketiga dst). Sayangnya, memiliki peringkat rendah dalam poin ini
tidak berarti jelek karena minimnya kolaborasi dengan pihak asing dapat
menunjukkan bahwa periset dalam negeri sudah mandiri dan tak perlu
bekerja sama dengan orang lain seperti di Amerika Serikat, Cina, Jepang
dan Taiwan.
4. Keluaran mencakup jumlah dan kualitas publikasi ilmiah yang
dihasilkan oleh PT, banyaknya PT di sebuah negara yang berhasil masuk Shanghai Jiao Tong Top 500 Universities,
jumlah pengangguran berijazah sarjana dibandingkan dengan yang
berijazah sekolah menengah, kualitas riset PT terkemuka di negara
tersebut dan jumlah staf periset per kepala populasi. Indonesia berada
di peringkat 48, kalah dari Malaysia di peringkat 47 dan Thailand di
peringkat 44.
Masing-masing poin dari keempat kriteria tersebut kemudian diberi bobot
berbeda untuk menghitung poin total yang digunakan dalam pemeringkatan
akhir (gambar Overall Ranking). Kriteria output mendapatkan bobot 40%, sedangkan resources dan environment berbobot masing-masing 25% dan connectivity hanya 10%. Kriteria output
wajar mendapatkan bobot paling besar karena di sinilah kualitas sebuah
sistem akan terlihat. Tidak heran jika negara-negara yang kuat dalam
pendidikan kemudian menempati urutan teratas. Sebanyak 8 negara yang
berada di Top 10 kriteria output juga berada di Top 10 rangking total.
Kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari peringkat Sistem Pendidikan
Tinggi Nasional tahun 2012 ini? Yang paling jelas adalah bahwa sistem
pendidikan tinggi kita tertinggal dari negara tetangga di ASEAN. Mungkin
secara individu, beberapa Perguruan Tinggi Negeri kita terlihat lebih
unggul daripada PT-PT di negara tetangga, namun berbicara sistem, kita
kalah. Ketertinggalan ini dapat mengancam eksistensi kita di masa depan
karena nanti kita akan bergantung pada hasil riset orang lain secara
berkelanjutan atau menjadi pasar abadi tempat orang menjual teknologi
mereka.
Pendidikan Tinggi nasional jelas membutuhkan dana yang lebih besar untuk
menggalakkan riset dan meningkatkan kualitas pengajaran sehingga nanti
dapat berperan dalam memajukan ekonomi dan penguasaan teknologi tingkat
tinggi. Selain dana, kita membutuhkan lebih banyak periset mandiri
dengan kualitas riset yang juga lebih baik. Dana yang lebih besar,
jumlah dan kualitas pengajar dan periset yang lebih baik nanti akan
membuat output otomatis menjadi lebih baik.
Referensi:
U21 Rankings of National Higher Education Systems 2012 (10 May 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar